Halaman

Jumat, 30 Oktober 2009

VISI DAN MISI PMII


Visi dasar PMII;

Dikembangkan dari dua landasan utama, yakni visi ke-Islaman dan visi kebangsaan. Visi ke-Islaman yang dibangun PMII adalah visi ke-Islaman yang inklusif, toleran dan moderat. Sedangkan visi kebangsaan PMII mengidealkan satu kehidupan kebangsaan yang demokratis, toleran, dan dibangun di atas semangat bersama untuk mewujudkan keadilan bagi segenap elemen warga-bangsa tanpa terkecuali.


Misi dasar PMII;

Merupakan manifestasi dari komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, dan sebagai perwujudan kesadaran beragama, berbangsa, dan bernegara. Dengan kesadaran ini, PMII sebagai salah satu eksponen pembaharu bangsa dan pengemban misi intelektual berkewajiban dan bertanggung jawab mengemban komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk


ARTI LAMBANG PMII


ARTI LAMBANG PMII
Pencipta Lambang: H. Said Budairi



1. Bentuk

Perisai berati Ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
Bintang adalah melambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
5 (Lima), bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah SAW dengan empat sahabat terkemuka (Khulafaur Rasyidin).

4 (Empat), bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhaluan Ahlusunnah Wal-jama’ah.

9 (Sembilan), bintang sebagai jumlah bintang dalam lambang dapat berati ganda, yakni :
Rasulullah dan empat orang sahabat serta empat orang imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
Sembilan orang pemuka penyebar Agama Islam di Indonesia yang disebut WALI SONGO.


2. Warna
Biru, sebagaimana lukisan PMII, berati kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara.
Biru Muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berati ketinggian ilmu pengetahuan, budi pekerti dan taqwa.
Kuning, sebagaimana warna dasar perisai-perisai sebelah bawah, berati identitas kemahasiswaan yang menjadi sifat dasar pergerakan lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.

3. Penggunaan
Lambang digunakan pada : papan nama, bendera, kop surat, stempel, badge, jaket/pakaian, kartu anggota PMII dan benda atau tempat lain yang tujuannya untuk menunjukan identitas organisasi.
Ukuran lambang disesuaikan dengan besar wadah penggunaan.

Aswaja

I. Pengantar

Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah) (Said Aqil Siradj : 1998).
Berangkat dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (manhaj al-fikr)?.Jika mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka pembaharuan yang bagaimana bisa relevan dengan kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern PMII. Apakah aswaja yang telah dikembangkan selama ini didalam tubuh PMII sudah masuk dalam kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan menjadi tulisan dalam tulisan ini.


II. Aswaja Dan Perkembangannya

Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahab embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahab ini masih merupakan tahab konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr dalam landasan gerak.


III. Aswaja Sebagai Manhaj al-fikr

Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.


IV. Penutup

Ini bukanlah sesuatu yang saklek yang tidak bisa direvisi atau bahkan diganti sama sekali dengan yang baru, sebab ini adalah ‘hanya’ sebuah produk intelektual yang sangat dipengaruhi ruang dan waktu dan untuk menghindari pensucian pemikiran yang pada akhirnya akan berdampak pada kejumudan dan stagnasi dalam berpikir. Sangat terbuka dan kemungkinan untuk mendialektikakan kembali dan kemudian merumuskan kembali menjadi rumusan yang kontekstual. Karena itu, yakinlah apa yang anda percayai saat ini adalah benar dan yang lain itu salah, tapi jangan tutup kemungkinan bahwa semuanya itu bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.

SEJARAH PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:


1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
3. Pisahnya NU dari Masyumi.
4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.

Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.


Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.


Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahsiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:


1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
2. M. Said Budairy (Jakarta)
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. Ismail Makki (Yogyakarta)
7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9. Laily Mansyur (Surakarta)
10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
12. M. Kholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Hussein (Makassar)


Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.


Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.
Independensi PMII


Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.


Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.


Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Foto Gerakan Perjuanganku





Selasa, 13 Oktober 2009

In Patimban Part II



Ini adalah kenang-kenangan waktu bareng-bareng sama rekan-rekan Asatidz ketika melepas kejenuhan satu hari setelah melaksanakan dan ngawas Prosesi Ujian Akhirus Sanah ( UAS ) Tapel 2008 - 2009 di Pondok Pesantren Al-Ishlah Jatireja - Compreng - Subang Jawa Barat.
Sobat... Gw kangen banget dengan suasana yang kaya gini. Kapan hal ini akan terulang lagi ???

Kamis, 08 Oktober 2009

Aliran Wahabiy Dimasukkan ke NU


DISKRIPSI MASALAH:


Akidah yang dibawakan golongan Wahabiah/Salafiah. Itu terdapat konsep. Konsep tersebut dinamakan:

Tauhid Rububiah yaitu sebuah tauhid yang mengatakan wujudnya tuhan, walaupun kemungkinan tauhid tersebut tidak menyisakan tuhan. Seperti agama Nasrani, Islam dll, Maka golngan ateis tidak memiliki tauhid ini

Tauhid Uluhiah yaitu Tauhid yang mengesakan tuhan, sehingga benar-benar beribadah hanya pada-Nya ini adalah Tauhid Islami, sehingga orang nasrani tidak memiliki tauhid ini "ASMA' WA SIFAT" yaitu kepercayaan terhadap nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah, seperti Aqidah Islam yang biasanya, {untuk keterangan lebih lanjut silahkan lihat: KH. SYIRAJUDDIN ABBAS I'tiqad Ahli Sunnah Wal Jama'ah atau nama-nama Kitab Wahabiah seperti karangan 'UTSAIMIN dll}. Akan tetapi ada beberapa Sarjana Sunni yang mengaku mengikuti aliran Asyairah dan Maturidiyah sedikit mengadopsi konsep Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyyah karena menurut mereka tauhid ini semakin memantapkan dan melengkapkan Aqidah Sunni yang sudah ada {maaf tidak dapat menyebutkan nama mereka disini}.

PERTANYAAN:

Bagaimana memasukkan konsep Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah didalam konsep Aqidah Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang difahami oleh golongan Asyairah dan Maturidiah?

التوحيد للناشئة والمبتدئين - (ج 1 / ص 11)

أنواع التوحيد : التوحيد : هو إفراد الله تعالى بالربوبية والألوهية وكمال الأسماء والصفات. أنواع التوحيد: ثلاثة، وهي توحيد الربوبية، وتوحيد الألوهية وتوحيد الأسماء والصفات.

1- توحيد الربوبية : وهو توحيد الله بأفعاله - سبحانه - مثل الخلق والرزق وتدبير الأمور والإحياء والإماتة ونحو ذلك. وهذا النوع قد أقر به الكفار على زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولم يدخلهم في الإسلام، كما قال تعالى : { وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ } .2- توحيد الألوهية : وهو توحيد الله بأفعال العباد التي أمرهم بها. فتصرف جميع أنواع العبادة لله وحده لا شريك له، مثل الدعاء والخوف والتوكل والاستعانة والاستعاذة وغير ذلك. وهذا النوع من التوحيد هو الذي جاءت به الرسل عليهم السلام، حيث قال تعالى : { وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ } . وهذا النوع من التوحيد هو الذي أنكره الكفار قديما وحديثا، كما قال تعالى على لسانهم: { أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ } . 3- توحيد الأسماء والصفات : وهو الإيمان بكل ما ورد في القرآن الكريم والأحاديث النبوية الصحيحة من أسماء الله وصفاته التي وصف بها نفسه أو وَصفه بها رسوله على الحقيقة. وأسماء الله كثيرة ، منها : الرحمن، والسميع، والبصير، والعزيز، والحكيم. قال تعالى: { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } (1) .

مقدمة عن العقيدة الإسلامية وأهميتها

إن الدين الإسلامي عقيدةٌ وشريعة، فأما العقائد فيراد بها: الأمور التي تصدق بها النفوس، وتطمئن إليها القلوب وتكون يقينا عند أصحابها لا شك فيها ولا ريب. والشريعة : تعني التكاليف العملية التي دعى إليها الإسلام كالصلاة والزكاة والصيام وبر الوالدين وغيرها.

الإيمان بالله عز وجل

معنى الإيمان بالله عز وجل : هو التصديق الجازم بوجود الله تعالى، والإقرار بربوبيته وأُلوهيته وأسمائه وصفاته. فتضمن الإيمان بالله عزّ وجل أربعة أمور:1- الإيمان بوجود الله سبحانه وتعالى.2- الإيمان بربوبية الله تعالى.3- الإيمان بأُلوهية الله تعالى.4- الإيمان بأسماء الله وصفاته.

وسنتحدث عن هذه الأمور الأربعة تفصيلًا على النحو الآتي:

1- الإيمان بوجود الله تعالى

أ- إن الإقرار بوجود الله تعالى أمرٌ فطريّ في الإنسان، وأكثر الناس يعترفون بوجود الله، ولم يخالف في ذلك إلا قلة قليلة من الملاحدة. إن كل مخلوق قد فطر على الإيمان بخالقه من غير سبق تعليم، وها نحن نسمع ونشاهد من إجابة الداعين وإعطاء السائلين ما يدلُّ دلالة يقينية على وجوده تعالى كما قال سبحانه. { إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ } . ب - ومن المعلوم عند كل شخص أن الحادث لا بد له من مُحْدِث، وهذه المخلوقات الكثيرة والتي نشاهدها في كل وقت لا بد لها من خالقٍ أوجدها، وهو الله عز وجل، لأنه يمتنع أن تكون مخلوقة من غير خالقٍ خَلقها، كما يمتنع أن تخلق نفسها؛ لأن الشيء لا يخلق نفسه.

2- الإيمان بربوبية الله تعالى

أ- معنى الإيمان بربوبية الله تعالى : هو الإقرار بأن الله تعالى رب كل شيء ومالكه وخالقه ورازقه، وأنه المحيي المميت النافع الضار، الذي له الأمر كله، وبيده الخير، وهو على كل شيء قدير، ليس له في ذلك شريك. والإيمان بربوبية الله هو التصديق الجازم بأن الله سبحانه وتعالى هو الربّ لا شريك له، وإفراد الله بأفعاله، بأن يعتقد أن الله وحده الخالق لكل ما في الكون، كما قال تعالى : { اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ } .

جـ- وقد فطر الله الخلق على الإيمان بربوبية الله تعالى، حتى مشركي العرب زمن النبي صلى الله عليه وسلم، كما قال سبحانه : { قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ }{ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ }{ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ } . { إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ }{ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ } . إن الإيمان بربوبية الله تعالى لا يكفي العبد في حصول الإسلام، بل لا بد أن يؤمن بألوهية الله تعالى، فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد قاتل مشركي العرب مع إقرارهم بربوبية الله تعالى.

3- الإيمان بألوهيَّة الله تعالى

أ - معنى الإيمان بأُلوهيَّة الله تعالى : التصديق الجازم بأن الله تعالى وحده المستحق لجميع أنواع العبادة الظاهرة والباطنة، مثل الدعاء والخوف والتوكل والاستعانة والصلاة والزكاة والصيام، فيعلم العبد يقينا أن الله هو المعبود لا شريك له، فلا معبود بحق إلا الله تعالى، كما قال سبحانه: { وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ } . فأخبر تعالى أن الإله إلهٌ واحد، أي معبود واحد فلا يجوز أن يُتّخذ إله غيره، ولا يعبد إلا إياه.

4- الإيمان بأسماء الله وصفاته

أ- وهو: إثبات ما أثبته الله لنفسه في كتابه أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم من الأسماء والصفات على الوجه اللائق بالله تعالى. من ثمرات الإيمان بأسماء الله وصفاته ما يلي : 1- التعرّف على الله تعالى، فمن آمن بأسماء الله وصفاته ازداد معرفة بالله تعالى، فيزداد إيمانه بالله يقينا، ويقوى توحيده لله تعالى.

Tauhid Wahhabiyyah

PEMBAGIAN tauhid menjadi 3 bagian berupa Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Tauhid Asma' wa Shifat tidak pernah dijumpai dalam konsep Ahlussunnah Wal Jamaah. Konsep baru yang diusung oleh golongan Wahabiyyah dengan mengadopsi konsep-konsep yang ditawarkan Ibnu Taimiyyah jelas tidak bisa diterima baik secara keseluruhan maupun dengan cara diadopsi beberapa poin saja. Hal ini dengan berbagai pertimbangan berupa;

1. Tidak pernah diajarkan Ulama' Salaf

2. Bertentangan dengan konsep dalam Al-Quran dan Hadis

3. Akan menyebabkan peng-kafir-an terhadap golongan Ahlussunnah Wal Jamaah sendiri. Khususnya dalam masalah Tawassul dan Istighotsah.

Yang perlu dipertimbangkan:

1. Bagaimana jika konsep itu diadopsi dengan beberapa perubahan sehingga tidak ada unsur pengkafiran terhadap golongan ahlussunnah?

2. Faktor persamaan dengan orang-orang fasik/ kafir.

3. Mempertimbangkan persepsi orang-orang awam dan yang belum bisa memahami detil pengadopsian konsep itu.

Hukum Bayi Kembar Siam


Latar belakang

Di rumah sakit anak North Texas, USA, ada rencana operasi pemisahan bayi kembar siam dari Mesir yang bernama Ahmad Ibrahim dan Muhammad Ibrahim. Operasi tersebut didanai LSM setempat dan telah disetujui kedua orang tua, serta izin dari pemerintah Mesir. Karena yang menyatu adalah bagian tubuh yang amat fital, maka menurut perkiraan Dokter hampir dapat dipastikan salah satunya akan mati. Dan jika dibiarkan, besar kemungkinan keduanya akan tetap hidup, meski harus menjalani kehidupan yang tidak wajar.
Pertanyaan:

a. Bagaimana tinjauan Fiqh mengenai kasus bayi diatas, dioperasi dengan resiko kematian salah satu, ataukah dibiarkan dengan kondisi kehidupnya yang tidak wajar itu?

b. Karena pasien berkewarga negaraan Mesir, dipandang perlukah pemerintah Mesir mengeluarkan rekomendasi persetujuan atas dilaksanakannya operasi tersebut dan bagaimana pula hukumnya?

c. Jika dari upaya operasi pemisahan tersebut, ada salah satu bayi yang meninggal, siapakah yang bertanggung jawab, dan tergolong pembunuhan yang bagaimana?
d. Dan jika dibenarkan, siapakah yang paling diprioritaskan keselamatannya, apabila salah satu bayi dipastikan ada yang meninggal?

Rumusan Jawaban:

a. mengenai kasus bayi diatas, Fiqh menyikapi tidak boleh karena akan terjadi pembunuhan yang tujuaannya hanya untuk sekedar penyembuhan, kecuali bila kedua bayi tersebut satu nyawa atau kemungkinan mati sasngat kecil.
Pengambilan ‘Ibarot:
 قواعد الأحكام الجزء الاول ص : 352
إجتماع المفاسد مع تساويها . أما إذا تساوت رتب المفاسد من كل وجه فقد يتخير بينهما فى بعض الصور وقد يتوقف إذا لم يمكن دفع جميعها فمن مسائل التخيير ما اذا أكره على اتلاف درهم من درهمين إما لرجل أو رجلين فانه يتخير وكذا اذا وجد المضطر حربيين متساوين واحترزنا بمتساوين عما اذا كان أحدهما قريبة فانه يقدم الأجنبى ومن أمثلة ما يتوقف فيه ما إذا وقع رجل على أطفال المسلمين إن أقام على أحدهم قتله وان انتقل إلى الاخر قتله قال بعض العلماء ليس فى هذه المسئلة حكم شرعي وهو باقية على الاصل فى انتفاء الشرائع قبل ورودها فان الشريعة لم تجئ فى التخيير بين هذين المفسدتين ومن أمثلة ذلك ما إذا اغتلم البحر بحيث علم ركاب السفينة أنهم لا يخلصونه الا بتغريق شطرهم لتخفف السفينة فانه لا يجوز إلقاء أحد منهم بقرعة ولا بغيرها لأنهم مستوون فى العصمة وإن أدى ذلك إلى إهلاك الجميع ولوكان معهم مال وحيوان محترم وجب إلقاء المال ثم الحيوان دفعا لمفسدة تلف الأدمين

قواعد الاحكام الجزء الاول ص: 73
المثال الثانى : اذا اغتلم البحر بحيث علم رقبان السفينة انهم لا يخلصون الا بالتفريق شطر الرقبان لتحف بهم السفينة فلا يجوز القاء احد منهم فى البحر بقرعة ولا بغير قرعة لأنهم مستوون فى العصمة وقتل من لا ذنب له محرم ولو كان فى السفينة مال او حيوان محترم لوجب القاء المال ثم الحيوان المحترم لان المفاسد فى فوات الاموال والحيوانات المحترمات اخف من المفسدة فى فوات ارواح الناس اهـ.

مغني المحتاج الجزء الرابع ص: 200
ولمستقل بأمر نفسه وهو الحر البالغ العاقل كما قال البغوي و الماوردي وغيرهما ولو سفيها ( قطع سلعة) منه وهو بكسر السين وحكي فتحها مع سكون اللام وفتحها خراج كهيئة الغدة يخرج بين الجلد واللحم يكون من الحمصة إلى البطيخة وله فعل ذلك بنفسه وبنائبه لأن له غرضا في إزالة الشين (إلا سلعة مخوفة) قطعها بقول اثنين من أهل الخبرة أو واحد كما بحثه الأذرعي (لا خطر في تركها) أصلا (أو الخطر في قطعها أكثر) منه في تركها فيمتنع عليه القطع في هاتين الصورتين لأنه يؤدي إلى هلاك نفسه قال تعالى ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة أما التي خطر تركها أكثر أو القطع والترك فيها سيان فيجوز له قطعها على الصحيح في الأولى والأصح في الثانية كما في الروضة وأصلها كما يجوز قطعه لغير المخوفة لزيادة رجاء السلامة مع إزالة الشين وإن نازع البلقيني في الجواز عند استوائهما قال لو قال الأطباء إن لم تقطع حصل أمر يفضي إلى الهلاك وجب القطع كما يجب دفع المهلكات ويحتمل الاستحباب. وهذا الثانى أوجه ومثل السلعة فيما ذكر وفيما يأتي العضو المتأكل قال المصنف ويجوز الكي وقطع العروق للحاجة

b. Bila operasi yang dilakukan sesuai dengan prosedur syariat maka pemerintah perlu memberikan rekomendasi bahkan hukunya wajib, sedang bila operasi yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur syara’ maka hukum mengeluarkan rekomendasi adalah haram.
Pengambilan ‘Ibarot:
 امامة العظمى ص: 113
وللعدل صور شتى ومنها القيام بمنع الظلم وازالته عن المظلوم ومنه انتهاك حرمات الناس وحقوقهم المتعلقة بانفسهم واعراضهم واموالهم وازالة آثار التعدى الذى يقع عليهم واعادة حقوقهم اليهم ومعاقبة المتعدى عليها بما يستحقه من العقوبة اهـ.

التشريع الجنائى الجزء الأول ص: 523 مؤسسة الرسالة
إذن ولى الأمر : وليس فى الشريعة ما يمنع ولى الأمر من أن يشترط فى الطبيب أن يكون على : معينة من العلم وأن تتوفر فيه مؤهلات خاصة وأن لا يباشر التطبيب الا إذا رخص ولى الامر بمباشرته وقد مالك إذن الحاكم فى التطبيب فى انفاء المسؤولية عن الطبيب كما مر إهـ

التشريع الجنائى الجزء الأول ص: 524 مؤسسة الرسالة
تتعلق القوانين الوضعية مع الشرييعة الإسلامية فى اعتبار التطبيب عملا بالمباح تتفق مع الشريعة فى الشروط التى تمنع من المسؤولية فتستلزم أن يكون الفاعل طبيبا وأن يأتي الفعل بقصد العلاج وبحسن النية وان يعمل طبقا للأصول الفنية وأن يأذن له المريض فى الفعل .

تشريع الجنائى الجزء الاول ص:523
اذن المريض: ويشترط لرفع المستولية عن الطبيب ان يأتي الفعل باذن المريض او باذن وليه او وصيه فان لم يكن للمريض واذن الحاكم فى اجراء حراحة لمريض لا ولي له يختلف عن اذن الحاكم للطبيب بصفة عامة اهـ.

الفوائد الجنية ص: 568
(الولاية الخاصة اقوى من الولاية العامة) ومن فروعها ان القاضى لا ولاية له مع وجود الأب او الجد. ومن فروعها انه لو اذنت للقاضى ان يزوجها بغير كفء لم يصح على الاصح عند الشيخين ولو زوجها الولى صح اهـ.

c. Bila dokter / wali yakin akan menimbulkan dloror atau kematian maka menjadi tanggung jawab keduanya yang berupa dosa bagi weali dan qishos bagi dokter.
Pengambilan ‘Ibarot:

 الفوائد الجنية ص:477
الرضا بشيء رضا بما يتولد منه – إلى أن قال – نظير هذه المسألة التى ذكره المصنف ما لو اذن المرتهن للراهن فى ضريب العبد المرهون فهلك فىالضرب فلا ضمان لأنه تولد من مأذون فيه .

الفقه الإسلامى الجزء السادس ص: 242 دارالفكر
وقال الشافعية والحنابلة إن علم المأمور ان القتل بغير حق فيقتص من المأمور المباشر لأنه مأذور فى فعله لقوله صلى الله عليه وسلم لا طاعة لمخلوق فى معصية الخالق ويعزر الآمر بالقتل ظلما لارتكابه معصية وان لم يعلم المأمور ان القتل بغير حق فالقصاص علىالآمر لأن المأمور معذور لوجوب طاعة الإمام فى غير معصية والظاهر من حاله انه لا يأمر الا بالحق .

Senin, 05 Oktober 2009

Apa Hukumnya Ketika Ujian Nyontek?


Deskripsi Masalah

Masih segar rasanya pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) setiap tahun ajaran yang dilaksanakan oleh sekolah formal SD, SLTP dan SMU. Namun Pemerintah dengan dalih ingin memajukan Negara dari faktor Akademis, Diknas melalui Badan Standard Nasional Pusat (BSNP) mengeluarkan standard minimum mutlak penentu kelulusan yang sangat signifikan dengan nilai minimal 5.26 dan minimal 4.26. Di sisi lain, tingkat kemampuannya bervariatif menuntut sekolah untuk berjuang semaksimal mungkin untuk mencapai lulus 100%. Sehingga tidak sedikit dari pihak Sekolah/Pengawas yang sudah dilantik dan disumpah, memberikan bocoran jawaban dengan harapan dapat membantu kelulusan siswa dengan dalih standart yang sangat signifikan dan merupakan satu-satunya penentu kelulusan.

Pertanyaan

a. Bagaimana hukum memberi jawaban menurut kondisi di atas ?

Jawaban :

Haram karena tergolong membocorkan rahasia negara, melangar peraturan perundang-undangan dan khianat atas sumpah jabatan.


بديع الكسالك في طبائع الملك الجزء الأول ص : 124

كتم السر وفيها مسائل : المسئلة الأولى قال الطرطوسي: هو من الخصال المحمودة في جميع الخلق ومن اللوازم في حق به الملوك والفرائض الواجبة على الوزراء والجلساء والإتباع قلت : ومن كلام إزدشير في العناية بالوصية لا تكون على احكام شيئ أحرص منك على كلام الأحبار حتى تصح فإنما تجري امور المملكة كلها عليها وأقلل الشركاء في أسرارك ينكتم أمرك المسائل الثانية كما أنه أوجب في حق الملوك ومن يليهم فكذا هو في حق كل واحد واحدا من سائر الطبقات إذا ائتمونوا عليه وكان في إفشائه أضرارا بصاحبه وقد تقدم في الوفاء بالعهد ما يشير لتقرير دليله من حيث هو أمانة وبه إستدل الطرطوشي قائلا : وإذا كان أمانة حرمت فيه الخيانة كالأمانات في الأموال ثم اردفه بقول أبي بكر بن حزم : إنما يتجالس المتجالسون بالأمانة فلا يحل لأحد أن يفشي على صاحبه ما يكره المسألة الثالثة قال الغزالي : المستودع السر أن ينكره وإن كان كاذبا وليس الصدق واجبا في كل مقام كما يجب للرجل أن يخفي عيوب نفسه وأسراره فكذلك يجب أن يخفي عيوب أخيه وإسراره قال : وإن احتاج إلى الكذب فله أن يفعل ذلك في حق أخيه فإنه ؟ نزلته وهما كشخص واحد لا يختلفان إلا بالبدن قلت : كما روي أنه قيل لبعضهم : كيف تخفي السر ؟ فقال : أجحد المخبر وأحلف للمستخبر فزاد احلف للضرورة المسألة الرابعة لكتم السر فوائد شاهده بفضله : الفائدة الأولى : دلالته على فضل صاحبه وكرم اخلاقه قال الطرطوشي : واعلم أن كتمان الأسرار يدل على جواهر الرجال وكما أنه لا خير في آنية لا تمسك ما فيها كذلك لا خير في الإنسان إذا لم يملك سره

حاشية الجمل ج : 3 ص : 651

(فرع) لو أرسل له السلام في كتاب فهو هدية إلا أن يطلب منه الجواب على ظهره وإن كان في المكتوب ما لا يحب الكاتب إطلاع غير المكتوب إليه عليه لم يجز له إظهار غيره عليه وكذا إذا أعلم الشخص غيره بما يكره إظهاره لغيره لا يجوز له إفشاؤه لغيره ولو بعد موته إلا أن تختص كراهة الإظهار بالحياة كأن كان يخاف ضررا من إظهاره لأنه بعد الموت لا خوف ا هـ م ر ا هـ

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص : 185

(مسألة : ك) يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والإستقلال بصرفه في مصارفه وإن كان المأمور به مباحا أو مكروها أو حراما لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتررد فيه في التحفة ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرما لكن ظاهرا فقط وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهرا وباطنا وإلا فظاهرا فقط أيضا والعبرة في المندوبة والمباح بعقيدة المأمور ومعنى قولهم ظاهرا أنه لا يأثم بعدم الإمتثال ومعنى باطنا أنه يأثم ا هـ قلت وقال ش ق والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهرا وباطنا مما ليس بحرام أو مكروه فالواجب يتأكد والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهأوي فخالفوه وشربوا فهم العصاة ويحرم شربه الآن امتثالا لأمره ولو أمر الإمام بشيئ ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب ا هـ

الأذكار ج : 1 ص : 317

وقد أجمع العلماء على أن من وعد إنسانا شيئا ليس بمنهي عنه فينبغي ان يفي بوعده وهل ذلك واجب أو مستحب ؟ فيه خلاف بينهم ذهب الشافعي وأبو حنيفة والجمهور إلى أنه مستحب فلو تركه فاته الفضل وارتكب المكروه كراهة تنزيه شديدة ولكن لا يأثم وذهب جماعة إلى أنه واجب قال الإمام أبو بكر بن العربي المالكي أجل من ذهب إلى هذا المذهب عمر بن عبد العزيز قال وذهبت المالكية مذهبا ثالثا أنه إن ارتبط الوعد بسبب كقوله تزوج ولك كذا أو أحلف أنك لا تشتمني ولك كذا أو نحو ذلك وجب الوفاء وإن كان وعدا مطلقا لم يجب واستدل من لم يوجبه بأنه في معنى الهبة والهبة لا تلزم إلا بالقبض عند الجمهور وعند المالكية تلزم قبل القبض

فتأوى الأزهار 10/139

السؤال

ما حكم الدين فى محأولات الطلاب للغش أثناء الامتحانات ، وهل يجوز للملاحظين أن يساعدوهم نظرا لصعوبة الامتحان ؟

الجواب

من المقرر أن الغش فى أى شىء حرام ،والحديث واضح فى ذلك "من غشنا فليس منا"رواه مسلم وهو حكم عام لكل شىء فيه ما يخالف الحقيقة ، فالذى يغش ارتكب معصية ، والذى يساعده على الغش شريك له فى الإثم . ولا يصح أن تكون صعوبة الامتحان مبررة للغش ، فقد جعل الامتحان لتمييز المجتهد من غيره ، والدين لا يسوى بينهما فى المعاملة، وكذلك العقل السليم لا يرضى بهده التسوية ، قال تعإلى {أم نجعل الذين آمنوا وعملوا الصالحات كالمفسدين فى الأرض أم نجعل المتقين كالفجار} ص : 28 وبخصوص العلم قال {قل هل يستوى الذين يعلمون والذين لا يعلمون } الزمر: 9 .

وانتشار الغش فى الامتحانات وغيرها رذيلة من أخطر الرذائل على المجتمع ، حيث يسود فيه الباطل وينحسر الحق ، ولا يعيش مجتمع بانقلاب الموازين الذى تسند فيه الأمور إلى غير أهلها ، وهو ضياع للأمانة ، وأحد علامات الساعة كما صح فى الحديث الشريف .

والذى تولى عملا يحتاج إلى مؤهل يشهد بكفاءته ، وقد نال الشهادة بالغش يحرم عليه ما كسبه من وراء ذلك ، وكل لحم نبت من سحت فالنار أولى به وقد يصدق عليه قول الله تعإلى {لا تحسبن الذين يفرحون بما أتوا ويحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب ولهم عذاب أليم } آل عمران : 188 .

وإذا كان قد أدى عملا فله أجر عمله كجهد بذله أى عامل ، وليس مرتبطا بقيمة المؤهل ، وهو ما يعرف بأجر المثل فى الإجارة الفاسدة ، وما وراء ذلك فهو حرام الترضى على الصحابة والصالحين.

b. Bagaimana dengan hukum sumpah yang dilakukan oleh Guru/Pengawas terkait dengan kecurangan pada kondisi tersebut ?

Jawaban :

Apabila pada saat mengucapkan sumpah pelaku sumpah mempunyai maksud tidak akan menjalankan sumpahnya, maka bersumpah hukumnya adalah haram, karena tergolong sumpah dusta (yamin ghomus) menurut madzhab Hanafi, dan tergolong janji dengan maksud akan diingkari, menurut madzhab Syafi’i. Menurut madzhab Maliki, sumpah dianggap sah secara syar’I, apabila menggunakan bahasa arab.

البداية للمرغيناني الحنفي ج5 ص 109

وَلَوْ حَلَفَ لا يَشْرَبُ لَبَنًا فَثَرَدَ فِيهِ فَأَكَلَهُ لا يَحْنَثُ, وَلَوْ شَرِبَهُ حَنِثَ. قِيلَ هَذَا إذَا حَلَفَ بِالْعَرَبِيَّةِ, أَمَّا إذَا حَلَفَ بِالْفَارِسِيَّةِ فَإِنَّهُ يَحْنَثُ مُطْلَقًا وَهُوَ الصَّحِيحُ لأَنَّ كُلا مِنْ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ يُسَمَّى خردن.

إسعاد الرفيق 2/82 (الهداية)

(و) منها ( الخلف في الوعد ) لمسلم من المسلمين لكن لا مطلقا بل ( اذا وعد وهو يضمر ) اي ينوي بقلبه ( الخلف) في وعده أو ترك الوفاء به بلا عذر . الى أن قال- فان عزم على الوفاء فعن له عذر منعه منه لم يكن منافقا وان جرى عليه ما هو صورة النفاق. قال عليه الصلاة وسلام ( اذا وعد الرجل أخاه وفي نيته أن يفي فلم يجد فلا اثم عليه ) ولكن ينبغي أن يحترز من صورته أيضا و ولا يجعل نفسه معذورة بلا ضرورة . إلى أن قال- ثم إن فهم مع ذلك الوفاء فلا بد منه إلا أن يتعذر .

رد المختار ج 3 ص 306

( وَ ) ثَانِيهَا ( لَغْوٌ ) لَا مُؤَاخَذَةَ فِيهَا إلَّا فِي ثَلَاثٍ طَلَاقٌ وَعَتَاقٌ وَنَذْرٌ أَشْبَاهٌ , فَيَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَى غَالِبِ الظَّنِّ إذَا تَبَيَّنَ خِلَافُهُ , وَقَدْ اُشْتُهِرَ عَنْ الشَّافِعِيَّةِ خِلَافُهُ ( إنْ حَلَفَ كَاذِبًا يَظُنُّهُ صَادِقًا ) فِي مَاضٍ أَوْ حَالٍّ فَالْفَارِقُ بَيْنَ الْغَمُوسِ وَاللَّغْوِ تَعَمُّدُ الْكَذِبِ , وَأَمَّا فِي الْمُسْتَقْبَلِ فَالْمُنْعَقِدَةُ .

( قَوْلُهُ فَالْفَارِقُ إلَخْ ) أَقُولُ : هُنَاكَ فَارِقٌ آخَرُ , وَهُوَ أَنَّ الْغَمُوسَ تَكُونُ فِي الْأَزْمِنَةِ الثَّلَاثَةِ عَلَى مَا سَيَأْتِي وَاللَّغْوُ لَا تَكُونُ فِي الِاسْتِقْبَالِ ح ( قَوْلُهُ وَأَمَّا فِي الْمُسْتَقْبَلِ فَالْمُنْعَقِدَةُ ) لَا يَخْفَى أَنَّ كَلَامَهُ فِي الْحَلِفِ كَاذِبًا يَظُنُّهُ صَادِقًا وَهَذَا فِي الْمُسْتَقْبَلِ لَا يَكُونُ إلَّا يَمِينًا مُنْعَقِدَةً , فَلَا يَرِدُ أَنَّ الْغَمُوسَ يَكُونُ فِي الْمُسْتَقْبَلِ أَيْضًا لِأَنَّ الْغَمُوسَ لَا بُدَّ فِيهِ مِنْ تَعَمُّدِ الْكَذِبِ وَلَيْسَ الْكَلَامُ فِيهِ فَافْهَمْ.

الموسوعة الفقهية ج 6 ص 232-233

فَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ : هِيَ الْكَاذِبَةُ عَمْدًا فِي الْمَاضِي أَوْ الْحَالِ أَوْ الِاسْتِقْبَالِ , سَوَاءٌ أَكَانَتْ عَلَى النَّفْيِ أَمْ عَلَى الْإِثْبَاتِ كَأَنْ يَقُولَ : وَاَللَّهِ مَا فَعَلْت كَذَا , وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ فَعَلَهُ , أَوْ وَاَللَّهِ لَقَدْ فَعَلْت كَذَا , وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ , أَوْ : وَاَللَّهِ مَالَك عَلَيَّ دَيْنٌ , وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّ لِلْمُخَاطَبِ دَيْنًا عَلَيْهِ , أَوْ : وَاَللَّهِ لَا أَمُوتُ أَبَدًا . وَكَأَنْ يَقُولَ : إنْ كُنْت فَعَلْت كَذَا , أَوْ إنْ لَمْ أَكُنْ فَعَلْته , أَوْ إنْ كَانَ لَك عَلَيَّ دَيْنٌ , أَوْ إنْ مِتُّ فَأَنَا يَهُودِيٌّ أَوْ نَصْرَانِيٌّ . هَذَا تَعْرِيفُهَا عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ . وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إلَى أَنَّ الْغَمُوسَ هِيَ الْحَلِفُ بِاَللَّهِ مَعَ شَكٍّ مِنْ الْحَالِفِ فِي الْمَحْلُوفِ عَلَيْهِ , أَوْ مَعَ ظَنٍّ غَيْرِ قَوِيٍّ , أَوْ مَعَ تَعَمُّدِ الْكَذِبِ , سَوَاءٌ أَكَانَ عَلَى مَاضٍ نَحْوُ : وَاَللَّهِ مَا فَعَلْت كَذَا , أَوْ لَمْ يَفْعَلْ زَيْدٌ كَذَا , مَعَ شَكِّهِ فِي عَدَمِ الْفِعْلِ , أَوْ ظَنِّهِ عَدَمَهُ ظَنًّا غَيْرَ قَوِيٍّ , أَوْ جَزْمِهِ بِأَنَّهُ قَدْ فَعَلَ , أَمْ كَانَ عَلَى حَاضِرٍ نَحْوُ : وَاَللَّهِ إنَّ زَيْدًا لَمُنْطَلِقٌ أَوْ مَرِيضٌ , وَهُوَ جَازِمٌ بِعَدَمِ ذَلِكَ , أَوْ مُتَرَدِّدٌ فِي وُجُودِهِ عَلَى سَبِيلِ الشَّكِّ أَوْ الظَّنِّ غَيْرِ الْقَوِيِّ , أَمْ كَانَ عَلَى مُسْتَقْبَلٍ نَحْوُ : وَاَللَّهِ لَآتِيَنَّك غَدًا , أَوْ لَأَقْضِيَنَّكَ حَقَّك غَدًا وَهُوَ جَازِمٌ بِعَدَمِ ذَلِكَ , أَوْ مُتَرَدِّدٌ فِي حُصُولِهِ عَلَى سَبِيلِ الشَّكِّ أَوْ الظَّنِّ غَيْرِ الْقَوِيِّ . وَقَالَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إنَّ الْغَمُوسَ هِيَ الْمَحْلُوفَةُ عَلَى مَاضٍ مَعَ كَذِبِ صَاحِبِهَا وَعِلْمِهِ بِالْحَالِ . وَالْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ لَا يُوَافِقُونَ الْمَالِكِيَّةَ عَلَى التَّوَسُّعِ فِي تَفْسِيرِ الْغَمُوسِ .

حاشية الصفتي المالكي 121 (دار الكتب العلمية)

( تنبيه) قال الشيخ في حاشية الخرشي : الحلف لا ينعقد الا اذا كان بالعربية انتهى .