Halaman

Jumat, 30 Juli 2010

Demokrasi Indonesia Dalam Paradoks


Semenjak tumbangnya rezim orde baru (orba) yang otoriter melalui perjuangan reformasi, Indonesia telah mengalami perkembangan demokrasi yang sangat pesat. Indonesia bahkan disebut-sebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Memang, dilihat dari penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) negeri kita cukup berhasil untuk memilih pemimpin baik pusat maupun daerah dan wakil-wakil rakyat di parlemen sebagai penanda adanya kekuasaan rakyat.
Pertanyaannya adalah apakah dengan wujud demokrasi seperti saat ini sudah mampu membawa kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat? Kenyataannya tidak, wujud demokrasi kita saat ini selain masih saja menimbulkan berbagai masalah, juga belum dapat secara lugas menjawab permasalahan-permasalahan negeri kita, lihat saja masih banyaknya ketidakadilan sosial dalam masyarakat, adanya hegemoni kekuasaan asing dan sekelompol elit politik yang menggurita, krisis identitas bangsa, serta ketimpangan-ketimpangan produk hukum yang tidak berpihak pada rakyat banyak. Sehingga dapat dikatakan wujud demokrasi yang ada di Indonesia ini masih belum mampu menyentuh substansi demokrasi itu sendiri yaitu demokrasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Ada suatu paradoks di sini, demokrasi yang diperjuangkan sebagai melalui reformasi sebagai sistem terbaik yang diharapkan mampu memberikan titik terang atas berbagai permasalahan bangsa ini kenyataannya sampai sekarang masih belum mampu secara lugas menjawab permasalahan-permasalahan bangsa kita.
Kita perlu berkaca apakah demokrasi kita selama ini sudah berjalan pada jalur yang tepat? Ataukah hanya sebatas euforia tanpa arah yang jelas selepas reformasi sehingga belum mampu menyentuh substansi dari demokrasi itu sendiri. untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi kita perlu mencermati fenomena-fenomena demokrasi yang terjadi di negeri kita
Pertama bila kita telisik entitas dari pemilu, sebagai simbol demokrasi adanya kuasa rakyat dalam memilih pangambil kebijakan bagi negara kelihatannya tidak ada masalah bagi Indonesia karena dengan pemilu rakyat Indonesia telah berhasil memilih pemimpinnya secara langsung mulai dari presiden hingga gubernur dan bupati, serta wakil-wakil rakyat baik pusat maupun daerah. Para elit politik yang dipilih rakyat dalam pemilu dianggap representasi rakyat yang memilihnya. Kenyataannya pemilu kita terkesan lebih menguntungkan segelintir elit politik dan golongan daripada menguntungkan rakyat. Suara rakyat sering hanya menjadi alat untuk mencapai kekuasaan oleh para elit politik pencari kekuasaan, ketika mereka mandapat kekuasaan itu rakyat yang memilihnya dan menggantungkan harapan padanya terabaikan oleh hingar bingarnya kekuasaan.
Perlu dipertanyakan juga kapasitas para elit politik yang terpilih itu untuk memperbaiki kondisi bangsa ini. Pasalnya, rakyat kita cenderung memilih calon pemimpin dan wakilnya dalam pemilu berdasarkan ketokohan dan popularitasnya, baik-buruk kapasitas sebenarnya yang dimiliki calon itu sering tertutupi oleh baik-buruknya penilaian rakyat atas penampilan luar yang kadang menipu. Sehingga tak heran jika akhir-akhir ini banyak calon kepala daerah maupun wakil rakyat yang hanya mengumbar popularitas unruk mendapat posisi-posisi yang seharusnya diisi oleh yang benar-benar memiliki kapasitas untuk dapat mengatasi masalah negeri ini yang rumit. Bahkan partai-partai kini berlomba-lomba mengajukan calon kepala daerah dan wakil rakyat dari kalangan artis yang jelas popularitasnya karena dengan itu secara instan mereka akan dengan mudah mencapai kemenangan.
Mungkin kenyataan di atas yang menyebabkan pemilu sebagai pilar demokrasi belum dapat sepenuhnya memenuhi harapan rakyat. Belum lagi kenyataan bahwa pemilu di Indonesia dari pusat hingga daerah tentu saja memakan biaya yang sangat besar, Adalah suatu ironi ketika milyaran bahkan triliyunan dana yang dikeluarkan demi menggelar pemilu sebagai syarat prosedural demokrasi namun hasilnya sering jauh dari harapan rakyat dan substansi demokrasi itu sendiri.
Tentunya pemilu hanya sebagian kecil dari demokrasi, di sisi lain fenomena-fenomena yang mencerminkan paradoks demokrasi Indonesia terus terjadi. Salah satu pilar demokrasi lainnya adalah kebebasan pers, pers kita memang sudah sangat bebas, tapi apakah sudah bertanggungjawab? Pers menjadi harapan untuk menyuarakan aspirasi rakyat di saat mandeknya aspirasi rakyat di tingkat elit politik hasil dari kegagalan proses pemilu di atas. Kenyataannya kebebasan sering disalah artikan. Atas dasar kebebasan berpendapat, fitnah dan perpecahan lebih menonjol untuk diberitakan, tujuan bersama tidak pernah tercapai jika yang ada perpecahan antar elit dan kepentingan antar golongan yang terus terjadi.
Pers diharapkan mampu memberikan pencerahan kepada rakyat untuk menalar akan kebenaran realitas-realitas yang ada. Yang ada pers bagaikan menggiring aspirasi rakyat pada realitas yang dapat menguntungkan mereka dengan pemberitaan kontroversial yang lebih menarik daripada berita biasa Terkadang pada kasus tertentu segelintir pers bahkan mendasarkan pemberitaan pada kekuatan politik yang menguasai pers itu.
Ketika aspirasi rakyat tidak dapat lagi disalurkan dan disuarakan secara tepat dan bertanggungjawab demokrasi itu kembali dikatakan tereduksi substansinya. Tidak heran jika kemudian rakyat menggunakan jalur lain untuk menyuarakan pendapatnya seperti dengan aksi demonstrasi jalanan maupun dengan cara yang populer saat ini dengan facebook maupun jejaring sosial online lainnya. Meskipun cara-cara tersebut cukup dapat memberikan dorongan terhadap perubahan sosial seperti yang diinginkan, namun masih belum mampu memberikan efek seperti yang diinginkan secara langsung dalam tataran praksisnya. Kembali, inilah salah satu yang menjadi penghalang tercapainya harapan rakyat melalui wujud demokrasi yang terlaksana di negeri kita.
Gambaran di atas mungkin hanya sebagian fenomena-fenomena yang paling nampak, mencerminkan paradoks wajah demokrasi kita saat ini. Tentunya masalah-masalah demokrasi Indonesia tidak sesederhana di atas, permasalahan demokrasi kita sangat kompleks, dimana sebenarnya demokrasi secara prosedural sudah tercapai di Indonesia namun belum mampu memberikan hasil yang diinginkan dari adanya demokrasi itu. Perkembangan demokrasi yang sudah dicapai Indonesia saat ini memang perlu diapresiasi. Namun, kita juga tidak bisa menampik perlunya mengevaluasi lagi wujud demokrasi yang telah tercapai hingga saat ini. Kegagalan bentuk demokrasi saat ini dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat bisa kita simpulkan memang akibat dari demokrasi kita yang belum berjalan sesuai dengan yang semestinya. Bagaimana bentuk demokrasi yang semestinya mampu mewujudkan harapan rakyat dan sesuai dengan bangsa Indonesia tentunya kita sendiri sebagai bangsa Indonesia yang harus menemukan rumusannya sendiri seiring waktu. Waktu 12 tahun selepas reformasi bukanlah waktu yang singkat dalam upaya pencarian bentuk demokrasi yang tepat. Sudah saatnya para elit politik dan rakyat merefleksi kembali pencapaian demokrasi Indonesia agar dapat lebih dewasa dalam berdemokrasi untuk mencapai tujuan bersama kesejahteraan dan keadilan negeri ini.

Rabu, 21 Juli 2010

Gus Dur is Somebody, Dipuja dan Dibenci


Gus Dur memang kontraversial, apa yang dikatakan seringkali menimbulkan polemik dikalangan masyarakat. Situasi ini telah menunjukkan keberadaan dan sikap Gus Dur penting untuk ditanggapi, baik atas dukungan dari mereka yang mencintai atau kritikan dari mereka yang membenci.

Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Mas’udi berpendapat Gus Dur adalah Somebody, tak ada orang yang bersikap netral terhadap Gus Dur, semua orang memperhitungkan keberadaannya.

“Gus Dur adalah somebody, langka orang yang mendapat posisi seperti itu, sementara sebagian besar kita adalah nobody, keberadaannya tidak diperhitungkan,” katanya dalam diskusi buku tentang Gus Dur akhir pekan lalu.

Buku yang membahas tentang Gus Dur juga sudah sangat banyak, tapi sebagian besar hanya mengambil satu sisi pemikiran Gus Dur, atau kalau melihatnya secara komprehensif, ya hanya bersifat highlight saja.

“Gus Dur adalah manusia ide, gagasan bukan hanya mengartikulasikan gagasan yang ada, tetapi mengemukakan ide yang belum pernah dikemukakan orang lain. Sebagian besar orang kan komentator ide, sekedar mengomentari, ini juga penting, tetapi orisinalitas ide belum tentu dimiliki orang lain,” tambahnya.

Ia menjelaskan, terdapat tiga tahapan dalam pemikiran Gus Dur, yaitu gagasan, aksi dan institusionalisasi. Ia merupakan orang yang sangat kaya dengan ide, gagasannya mengejutkan, aksi politiknya juga luar biasa. Orang yang paling membenci bisa ditaklukkan dalam waktu singkat, seolah-olah tak ada jarak apa-apa,

Sayangnya, yang kurang adalah upaya institusionalisasi dari gagasan yang dimiliki. Ini merupakan ladang garapan yang masih sangat luas. Dilingkungan NU, ia pemimpin yang menandai titik balik khittah 1926, gagasannya luar biasa dan aksi pemihakan pada masyarakat juga luar biasa.

“Tetapi sebagai institusi, NU belum sempat dibangun sebagaimana gagasan menghendakinya. Jadi inventarisasi gagasan kurang, di PKB juga begitu, gagasan, pemikiran, politiknya luar biasa, aksinya juga kita tahu, tapi institusionalisasinya yang kurang,” terangnya.

Aspek lain adalah Gus Dur merupakan tipe pemimpin yang one man show, semuanya berpusat pada dia. Ini sebenarnya bukan hal yang aneh mengingat dalam masyarakat NU, yang masih menjunjung tinggi kharisma pribadi.

“Masyarakat NU digerakkan oleh kharisma, bukan gagasan. Karena itu sebagian besar kita kalau disuruh berangkat ke utara tidak menanyakan mengapa ke utara, yang terjadi karena beliau menyuruh ke utara. Samikna waatokna, ini kata-kata luara biasa, tak ada kritik dan internalisasi, perintah ditangkap langsung ke hati, tidak ada proses penalaran,” paparnya.

Ini menurutnya bukan persoalan sederhana kalau mau melakukan transformasi, NU ditangannya secara gagasan semua menyambut gagap gempita, tetapi NU sebagai institusi belum tertata.

Karena itu, kalau mau melanjutkan perjuangan Gus Dur, maka yang dilakukan adalah melakukan interpretasi, memperkaya gagasannya, tetapi yang lebih penting lagi adalah melakukan institusionalisasi dari ide-ide tersebut.

“Kalau institusionalisasi ini berhasil dilakukan, Gus Dur betul-betul masyaallah. Membangun institusi yang kompatible dengan gagasan kebangsaan, keislaman dan kemanusiaan, ini tidak mudah,” tandasnya.

Dijelaskannya, membangun organisasi yang sehat merupakan sesuatu yang berat, ada pengaruh personal yang kuat, kewibawaan masih bersifat personal, kesetiaan pada pemimpin bukan karena idenya, tetapi karena wibawanya, kharismanya. Ketika tidak ada proses transformasi, maka organisasi tidak ada pernah kuat. Organisasi baru kuat kalau seluruh konstituen meleburkan keakuannya kedalam kekitaan.

“Dalam masyarakat tradisional, “akunya” banyak yang gede. Ini menghambat terjadinya penguatan organisasi, NU ini terdiri dari “aku-aku” dan masing-masing independent,” imbuhnya.

Namun demikian, ini bukan hal yang mustahil untuk dirubah, asal dengan keteladanan, ini adalah sebuah revolusi budaya agar bisa berhasil dimasa mendatang, karena kalau tidak organisasi akan selalu dalam posisi lemah diantara individu-individu. (mkf)