Halaman

Minggu, 12 Juni 2011

BI'DAH DAN SUNNAH


Jangan jadikan perbedaan menjadi faktor pemecah belah Ummat. Tapi, jadikanlah perbedaan itu sebagai sarana pemersatu Ummat”


Sering kali terdengar oleh kita perdebatan seputar hal bid'ah (sesat) dan sunnah. bahkan perdebatan ini menjurus pada perpecahan. Padahal tidak harus demikian, justru perbedaan itu adalah rahmat, asalkan kita mau berlapang dada. Oleh karenanya menjadi penting bagi umat muslim untuk mengetahui apakah bid'ah itu, dan bid'ah seperti apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan?

Menurut para 'Ulama bid’ah dalam ibadah dibagi dua: yaitu bid’ah hasanah (Baik) dan bid’ah dhalalah (buruk). Di antara para ‘Ulama yang membagi bid’ah ke dalam dua kategori ini adalah:

1. Imam Syafi’i

Menurut Imam Syafi’i, bid’ah dibagi dua; bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Jadi bid’ah yang mencocoki sunah adalah mahmudah, dan yang tidak mencocoki sunah adalah madzmumah.

Bid’ah hasanah/mahmudah dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah bid’ah wajib seperti kodifikasi (pengumpulan) Al-Qur’an pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan pengumpulan hadits ke dalam kitab-kitab besar pada zaman sesudahnya. Sedangkan bid’ah hasanah yang kedua adalah bid’ah sunah, seperti shalat tarawih 20 rakaat pada zaman khalifah Umar bin Khathab.

2. Imam al-Baihaqi

Bid’ah menurut Imam Baihaqi dibagi dua; bid’ah madzmumah (tercela) dan ghairu madzmumah (tidak tercela). Setiap Bid’ah yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’ adalah bid’ah mahmudah atau ghairu madzmumah. Sedangkan bid’ah yang tercela (madzmumah) adalah bid’ah yang tidak memiliki dasar syar’i sama sekali.

3. Imam Nawawi

Bid’ah menurut Imam Nawawi dibagi menjadi dua; bid’ah hasanah (bagus) dan bid’ah qabihah (jelek).

4. Imam al-Hafidz Ibnu Atsir

Ibnu Atsir juga membagi Bid’ah menjadi dua; bid’ah yang terdapat petunjuk nash (teks al-Qur’an/hadits) di dalamnya, dan bid’ah yang tidak ada petunjuk nash di dalamnya. Jadi setiap bentuk bid’ah yang menyalahi kitab dan sunah adalah tercela dan harus diingkari. Akan tetapi bid’ah yang mencocoki keumuman dalil-dalil nash, maka masuk dalam kategoti terpuji.

Lalu bagaimana dengan hadits

كُلُّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ Artinya: “Setiap bid’ah adalah sesat”

Berikut ini adalah pendapat para ulama’:

1. Imam Nawawi

Hadits di atas adalah masuk dalam kategori ‘am (umum) yang harus ditakhshish (diperinci).

2. Imam al-Hafidz Ibnu Rajab

Hadits di atas adalah dalam kategori ‘am akan tetapi yang dikehendaki adalah khash (‘am yuridu bihil khash). Artinya secara teks hadits tersebut bersifat umum, namun dalam pemaknaannya dibutuhkan rincian-rincian.

Ada sebagian ulama’ yang membagi bid’ah menjadi lima bagian sebagai berikut,

  1. Bid’ah yang wajib dilakukan : contohnya, belajar ilmu nahwu, belajar sistematika argumentasi teologi dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang-orang atheis (orang yang tidak beragama) dan orang-orang yang ingkar kepada agama Islam, dll.

  2. Bid’ah yang mandub (dianjurkan): contohnya, adzan menggunakan pengeras suara, mencetak buku-buku ilmiah, membangun madrasah, dll.

  3. Bid’ah yang mubah : contohnya, membuat hidangan makanan yang berwarna warni, dan sejenisnya.

  4. Bid’ah yang makruh : contohnya, berlebihan dalam menghias mushaf, masjid dan sebagainya.

  5. Bid’ah yang haram: yaitu setiap sesuatu yang baru dalam hal Agama yang bertentangan dengan keumuman dalil syar’i. misalnya solat isya tujuh rekaat dll.

Tersebut dalam kitab “Lathoiful Isyarot”, Imam Qodlhi Hussein beserta sahabat-sahabtnya mendefinisikan pengertian Sunnah adalah mengerjakan sesuatu yang walaupun Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah melakukannya. Namun, manusia berikhtiar dengan shalat, dzikir dan do'a. Dan itu akan dicatat sebagai amal shalih dan mendapatkan pahala dari Allah swt. Contohnya : pembacaan tahlil, pembacaan Marhaban, pembacaan manaqib dll. Karena dalam pembacaan-pembacan tersebut mengandung dzikir dan do'a.

Lalu, apakah berdzikir dan berdo'a adalah sesuatu yang sesat, atau bahkan menyesatkan? Jawabannya adalah kembali kepada keyakinan masing-masing. Jika hal itu menurutnya salah atau tidak suka, maka cukup berlaku untuk dirinya sendiri dan jangan memprovokasi orang lain karena itu akan lebih berbahaya dan berakibat perpecahan antar ummat.

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Tharieq”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menanggapi