Halaman

Jumat, 26 Maret 2010

NU Tidak Mungkin Lepas dari Politik


Makassar, Jumat - 26 Maret 2010 20:43

Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Ali Masykur Musa, menyatakan bahwa NU tidak mungkin melepaskan diri dari politik karena kelahirannya tak lepas dari pergulatan politik.

"Sejarah NU selalu berkelindan dengan politik," kata Ali Masykur dalam bedah buku karyanya yang bertajuk "NU dan Moralitas Politik Bangsa" di arena Muktamar NU ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makassar, Jumat.

Hanya saja, lanjut anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, peran politik yang dijalankan NU bukan politik praktis melainkan politik tingkat tinggi (high politics), politik dalam ranah etis, moral dan norma.

Sayangnya, kata Ali Masykur, kini NU telah terseret ke arus politik praktis, dukung-mendukung, yang pada akhirnya justru mendelegitimasi organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.

"Di Pilpres 2009, NU tidak punya kekuatan untuk ikut menjadi penentu kepemimpinan nasional. NU hanya jadi justivikator proses politik," katanya.

Ke masa depan, kata mantan politisi PKB itu, NU harus kembali memainkan peran strategis di politik etis.

Namun, lanjutnya, ada beberapa hal yang mesti dilakukan, menjaga independensi, mempertajam visi dan pengabdian di bidang sosial dan keagamaan serta meningkatkan sumber daya manusia NU.

"Kalau semua itu kuat, NU ke depan akan sangat didengar dan jadi panutan, termasuk oleh pengambil kebijakan," katanya.

Dalam buku terbarunya ini, Ali Masykur mencoba menganalisis sejumlah persoalan internal dan eksternal yang selama ini berkembang di tubuh NU.

“Buku ini disumbangkan agar menjadi khasanah intelektual yang bermanfaat, tidak saja pada pertumbuhan apresiasi warga NU terhadap jamiyyah NU, tapi juga pengembangan wawasan jamaah NU,” katanya.

Menurutnya, warna NU di kanvas politik tanah air telah sedemikian menonjol sejak kelahirannya hingga usianya yang ke 83. Selain dilatarbelakangi oleh factor persebaran jamaahnya yang berada di pelbagai pelosok negeri, juga disebabkan oleh keberanian jamiyyah NU dalam mengambil peran-peran stgrategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

NU memiliki kekuatan kompleks dalam merepresentasikan kekuasaan yang setidaknya mengakar dalam dua arus, yakni arus jamiyyah (organisatoris) dan arus jamaah (warga NU) yang biasa dikenal dengan sebutan tradisionalis dan kultural.

Dua kekuatan ini menjadi modal dasar bagi perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan syarat mempertajam komitmen peningkatan kualitas pendidikan (SDM).

“Pendulum kembali ke aras pendidikan perlu disampaikan, suka atau tidak suka, terhadap eksistensi NU sebagai jamiyyah maupun sebagai bagian dari kultur masyarakat,” imbuhnya.

Fungsi dan peran pendidikan ini mesti dikembalikan agar eksistensi NU benar-benar terasa oleh masyarakat luas. “Jangan sampai idealitas kepenidikan NU ini terkikis hanya karena syahwat politik yang berlebihan,” terangnya.

Untuk itu, NU hanya memiliki dua pilihan, mengembalikan NU ke aras pendidikannya dan mempertajam komitmen sosialnya atau membiarkan NU menjadi jamiyyah besar yang kian kehilangan ruhnya.

“Saya berharap agar buku “saku” ini bias menjadi semacam cermin introspeksi dan wacana revitalisasi yang pantas direnungkan oleh jamaah NU, terutama bagi upaya menjayakan kembali eksistensi NU di masa mendatang. (mad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menanggapi